Navarin Karim

Gagal Pilkada, Berhasil Legislatif   (Wujudkan Asa Pemilih)

Oleh : Navarin Karim

Setelah penetapan calon-calon legislative oleh KPU, banyak suarasumbang yang mengatakan bahwa keberhasilan calon legislative lebihbanyak ditentukan oleh faktor ketersediaan financial yang mumpuni. Ada pula yang lebih ekstrim mengatakan calon-calon yang menang melakukan cara-cara yang lebihmoderat,  bukan lagi melakukan serangan fajar, tapi serangan pada siang hari yaitu setelah Zuhur dan Ashar. Ada juga yang melakukan money politik dengan cara konvensional melalui kelompok-kelompokmasyarakat, seperti pemberian sarung, jilbab, peralatan olahraga. Namun tidak menang, karena itu kelompok bukan secara personal. Melalui per orangan dianggap lebih efektif, tapi lihat juga nilai nominalnya. Jika ada yang lebih tinggi. Itu yang dipilih.

 

Anggapan diatas tidak dapat disalahkan, karena Bawaslu diasumsikan hanya sebagai umbul-umbul yang mewujudkan demokrasi procedural saja. Namun menjadi sumir manakala ada calon yang tidak mengeluarkan financial dan menang.  Ini bias menggugurkan uang dianggap segalanya sebagai kartu as untuk kemenangan. Beliau adalah mantan Gubernur Jambi Hasan Basri Agus (HBA), bahkan di Tiktok dikatakan itulah tuah HBA.

Penulis bersikap skeptis terhadap ada yang mengatakan kemenangan itu karena “tuah”, seolah mitos. Padahal kemenangan itu adalah fenomena nyata, tentu ada strategi lain yang dilakukan. Contoh Komeng menang sebagai anggota legislative pusat jalur independent (baca Dewan Perwakilan Daerah) mewakili Jawa Barat. Ia tidak menggunakan money politik, namun melakukan out of the boxya itu dengan gaya foto unique di kertas pencoblosan. Ia tampilkan gaya tersebut dia beranggapan sudah popular dan tampilan beda hanya untuk mencuri perhatian pemilih.

Sama seperti iklan rokok Sampurna, iklan-iklannya tidak ada hubungan sama sekali dengan rokok, Cuma masyarakat sudah tahu bahwa itu adalah iklan rokok sampurna.  Ada fenomena nyata yang belum terbaca oleh sebagian masyarakat Provinsi Jambi bahwa mayoritas kandidat yang pernah kalah di Pilkada, berhasil di legislative apakah di ranah pusat dan atau daerah. Seperticontoh HBA, Edi Purwanto, CikEndra, Ivan Wirata, Sum Indra, Khafeid Muin, Syarif Pasha. Khusus Syarief Pasha gagal dalam pilkada 2020, gagal karena tidak dapat dukungan partai, namun ia belum dilupakan konsituennya karena pernah sebagaiwalikota Jambi dua periode.

Namun ada juga yang kalah. Fakta mereka yang kalah dalam pilkada tidak terpilih di legislative relative persentasenya kecil. Apakah semua yang terpilih tersebut melakukan pola yang sama seperti HBA. Saya kira tidak. Mereka punya trick masing-masing agar terpilih sebagai legislator.  Misteri apa yang bisa kita ungkap, kenapa sebagian besar calon legislative yang riwayatnya pernah kalah dalam pilkada, bias menang dalam pemilihan legislative.    Alasan pertama adalah karena mereka sudah popular. Bukankah popularitas linier dengan elektabilitas. Komeng popular, makanya elektabilitas tertinggi dari caleg DPD lainnya.

Mereka yang telah pernah ikut pilkada pasti sudah popular, paling tidak baleghonya sudah beredar dikalangan masyarakat minimal satu tahun sebelum pemilihan. Apalagi ada yang pernah menjadi Kepala Daerah seperti mantan Gubernur, mantan Bupati, mantan wakil Bupati, mantan walikota, mantan wakil walikota. Alasan kedua mereka terpilih, karena mereka sudah punya kantong pemilih. Gunakan strategi defensive saja sudah aman mereka.

Maksud penulis adalah mereka tentunya tetap memperhatikan konstituennya. Bahasa akademisnya mereka memelihara (maintenance) konstituennya. Ketika pilkada ia sudah pernah dapat dukungan masyarakat, walau kalah, namun pemilih masih ingat dengan kandidatnya yang kalah tersebut. Jikaiamampu maintenanc ekonstituennya di dapilnya minimal 60 % saja. Ia sudah pasti menang. Pemilihnya masih setia menunggu aspirasi mereka yang belum terwujud. Calon legislative tersebut masih inventarisir aspirasinya (artikulasi kepentingan) dari pemilih-pemilihnya.

Makanya mereka tetap setia memilih caleg yang pernah kalah dalam pilkada tersebut. Hanya diingatkan kepada kandidat yang pernah kalah dalam pilkada dan berhasil sebagai legislative, jangan mereka kecewa dua kali. Dulu kecewa karena pilihannya kalah. Sekarang berharap fungsi dilegislatif memperjuangkan aspirasi mereka menjadi program yang dibiayai APBN  dana atau  APBD. Inilah yang disebut fungsi agregasi kepentingan. Kalau dahulu mereka mengeluh bantuan beras miskin kualitasnya jelek, maka setelah diperjuangkan di legislative menjadi beras sejahtera yang layak dimakan dan mumpuni. Sekarang mereka menuntut apa ?  Pahami betul apa yang dibutuhkan masyarakat asal daerah pilihan (dapil) masing-masing. Jika mereka menuntut sesuatu, maka dituntaskan supaya kecewa tidak berlanjut. Memang lebih terasa berat beban moral legislator yang berasal dari mereka yang pernah kalah dalam pilkada ini. “Namun jika mereka acuh tak acuh (easy going) tidaklah menjadi beban”.

Mereka menuntut disediakan lapangan pekerjaan, tentu lakukan tindakan konkrit seperti kewirausahaan social yang mampu menyerap banyak tenaga kerja. Jangan pula karena sudah punya bargaining power malah memperjuangkan anak istri, ponakan, adik, abang, kakak atau pamannya menjadi calon legislative di masa yang akan datang. Ingat legislator itu harus mempunyai jiwa kenegarawananya itu mendahulukan kepentingan umum ketimbang kepentingan golongan dan pribadi.

Jambi masih memerlukan hilirisasi, tempat rekreasi/destinasi yang berkualitas, sehingga devisa tidak lari keluar daerah. Perjuangkan dan wujudkan itu. Jambi deficit anggaran, atasi itu dengan mengupayakan sumber ekonomi sektor riel. Orientasi investasi besar, harus menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar pula. Jangan investasi pembangunan besar tidak menghasilkan apa-apa.

Jangankan manfaat (nilai utility), malah kritikan besar yang diperoleh, karena proyek bermasalah. Awasi secara ketat proyek-proyek besar itu. Benang merahnya adalah kepercayaan yang masih diberikan masyakat janganlah sampai dikecewakan dua atau tiga kali. Jadiingatlyric lagu dangdut : Satu kali kausakitihatiinimasihkumaafkan. Dua kali kau sakiti hati ini juga kumaafkan. Tapi jangan kau coba tiga kali. Jangan oh janganlah. Cukuplah sudah, cukuplah sudah jangan kau ulangi. Artinya sekaranglah saatnya mewujudkan artikulasi kepentingan menjadi agregasi kepentingan yang konkrit.

Penulis: Navarin Karim
Editor: arya abisatya